11 April 2009

Fardlu Kifayah

FARDLU KIFAYAH

Fardlu Kifayah Merupakan Kewajiban Atas Setiap Muslim
Fardlu merupakan seruan syari’ yang berkaitan dengan tuntutan yang bersifat pasti untuk melakukan suatu perbuatan, contohnya seperti firman Allah SWT:
“Dirikanlah Shalat...“ (QS. Al Baqarah: 110)
“Berangkatlah kamu sekalian dengan perasaan ringan atau berat, dan berjihadlah di jalan Allah” (QS. At Taubah: 41).
Atau seperti sabda Rasulullah saw:
“Orang yang dijadikan imam (shalat) adalah untuk diikuti.”
“Barangsiapa yang mati dan tidak ada bai’at di atas pundaknya (kepada khalifah), maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.”
(Al Hadits)
Semua nash tersebut di atas berupa seruan syar’i yang berkaitan dengan tuntutan untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang bersifat pasti. Adapun yang menentukan tuntutan itu bersifat pasti adalah adanya qorinah (indikasi) yang berkaitan dengan tuntutan tersebut, sehingga tuntutan tersebut bersifat pasti dan wajib dilaksanakan.
Hukum fardlu tidak akan gugur pada kondisi apapun sampai perbuatan yang diwajibkan itu terlaksana. Sedangkan orang yang meninggalkan perbuatan fardlu, maka ia akan mendapatkan siksa. Ia tetap berdosa sebelum melaksanakannya. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara fardlu ‘ain dan fardlu kifayah, semuanya adalah fardlu untuk seluruh kaum muslimin.
Jadi, firman Allah:

adalah fardlu ‘ain, sedangkan firman Nya :

adalah fardlu kifayah. Dan sabda Rasulullah saw:

adalah fardlu ‘ain, sedangkan sabda Beliau saw:

adalah fardlu kifayah.
Namun demikian, semua itu adalah fardlu yang telah ditetapkan oleh seruan syar’i (Allah dan Rasul saw) dan berkaitan dengan tuntutan yang bersifat pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
Oleh karena itu, setiap usaha yang bertujuan untuk memisahkan antara fardlu ‘ain dengan fardlu kifayah dilihat dari sisi sama-sama sebagai suatu kewajiban adalah suatu perbuatan dosa kepada Allah SWT dan dapat menyesatkan dari jalan Allah, serta merupakan suatu ajakan keliru untuk mengabaikan pelaksanaan fardlu yang telah diwajibkan Allah.
Akan halnya dari segi gugurnya suatu kewajiban atas orang-orang yang diwajibkan menunaikannya, maka antara fardlu ‘ain dan fardlu kifayah juga tidak ada perbedaan. Suatu (perbuatan) fardlu tidak akan gugur kewajiban pelaksanaannya hingga kewajiban tersebut ditunaikan sebagaimana yang dituntut oleh syara’. Sama saja, apakah tuntutan itu ditujukan untuk setiap kaum muslimin (fardlu ‘ain), seperti halnya shalat lima waktu, atau ditujukan kepada seluruh kaum muslimin (fardlu kifayah) seperti halnya bai’at kepada khalifah. Semua ini tidak akan gugur kecuali bila perbuatan itu dilaksanakan, dengan kata lain sampai shalat itu ditunaikan, dan telah terwujud adanya khalifah sehingga terlaksana bai’at kepadanya (khalifah yang terpilih). Dengan demikian kewajiban fardlu kifayah tidak akan gugur atas setiap kaum muslimin, apabila hanya ada sebagian saja yang berusaha untuk melaksanakannya, sampai fardlu tersebut terealisir secara nyata. Oleh karena itu, setiap kaum muslimin tetap memikul dosa selama pelaksanaan fardlu kifayah belum sempurna (belum terwujud).
Dengan demikian, merupakan kesalahan apabila dikatakan bahwa fardlu kifayah adalah suatu kewajiban yang apabila sebagian kaum muslimin telah berusaha melaksanakannya, gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lain. Akan tetapi fardlu kifayah adalah suatu kewajiban yang apabila sebagian kaum muslimin telah (berhasil) menunaikannya, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lainnya. Sehingga gugurnya kewajiban tersebut adalah sesuatu yang nyata, sebab perbuatan yang dituntut tersebut telah ditunaikan, dan terlaksana sehingga tidak ada lagi tanggungan. Inilah yang dimaksud dengan fardlu kifayah yang kedudukannya sama persis dengan fardlu ‘ain.

Dalil-dalil Yang Berkaitan Dengan Perintah Da’wah Berjama’ah
Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin agar selalu terikat dengan hukum-hukun Islam secara menyeluruh, baik menyangkut hubungannya dengan Pencipta, seperti masalah-masalah aqidah dan ibadah; atau menyangkut hubungannya dengan dirinya sendiri, seperti hukum-hukum akhlaq, hukum-hukum tentang makanan, pakaian dan lain-lain; ataupun menyangkut hubungannya dengan sesama, seperti hukum-hukum mu’amalah dan perundang-undangan.
Allah SWT juga telah mewajibkan kaum muslimin agar menerapkan Islam secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupannya; dan agar mereka menjalankan pemerintahan dengan Islam; serta agar konstitusi dan seluruh undang-undang mereka, merupakan hukum-hukum syara’ yang bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman:
“Maka putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkaan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu.’ (QS. Al Maidah: 48)
“(Dan) Hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, (Dan) Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al Maidah: 49)
Apabila kita melihat kondisi umat saat ini, sangatlah jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam. Fakta membuktikan bahwa aturan-aturan yang berlaku ditengah-tengah kaum muslimin bukanlah berasal dari Allah, tapi aturan-aturan kufur (produk kapitalis/sosialis) yang diciptakan oleh manusia, sedangkan aturan Allah telah ditinggalkan malah sebagian umat Islam tidak tahu bahwa Islam memiliki aturan yang menyeluruh tentang kehidupan.
Maka sudah menjadi kewajiban sebagian kaum muslimin yang tetap berpegang teguh kepada Islam, untuk menyeru kepada umat agar kembali kepada jalan yang telah ditunjuki Allah yaitu kembali menjadikan aturan Islam sebagai satu-satunya hukum yang berlaku, apabila mereka takut kepada azab Allah yang Maha Pedih.
Namun mengajak umat Islam untuk kembali memahami Islam dan mengajaknya kembali kepada kehidupan Islam bukanlah sesuatu yaang mudah, diperlukan pengorbanan yang tidak sedikit, juga tidak mungkin memahamkan umat dilakukan oleh individu per individu (fardiyah), maka haruslah da’wah ini dilakukan secara berjama’ah dengan dibentuknya kelompok da’wah yang bertujuan untuk menda’wahkan Islam kepada umat. Firman Allah SWT yang berkenaan dengan masalah ini:
“(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada Al-Khoir (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)
Dalam ayat ini Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin agar di antara mereka ada suatu kelompok (jama’ah) yang terpadu, yang memiliki dua tugas:
1. Mengajak kepada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam (terhadap pengikut agama lain)
2. Menyeru kepada yang ma’ruf (melaksanakan syari’at) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syari’at).
Bentuk perintah untuk membentuk jama’ah terpadu disini, memang sekedar menunjukkan adanya thalab/ajakan (dari Allah). Namun semikian, terdapat qarinah (indikasi) lain yang menunjukkan bahwa ajakan tersebut adalah suatu keharusan. Sehingga kegiatan yang telah ditentukan oleh ayat agar dilaksanakan oleh kelompok terpadu tersebut, yakni da’wah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin melakukannya. Hal ini diperkuat oleh banyak ayat lain serta hadits-hadits Rasulullah saw. Diantaranya sabda beliau:
“Demi zat yang diriku berada ditangan-Nya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kaliann berdo’a, maka (do’a itu) tidak akan dikabulkan.” (Sunan Tirmidzi no. 2259)
Berarti hadits ini merupakan salah satu qarinah bahwa tholab tersebut adalah thalab yang bersifat keharusan, dan perintah yang ada adalah wajib.
Dari dalil-dalil di atas jelaslah bahwa Allah telah memerintahkan adanya jama’ah, kelompok da’wah atau partai politik yang memiliki tugas menyeru kepada Islam dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Hukum Bergabung Dengan Satu Kekompok Da’wah
“(Dan) Siapa saja yang memilih Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya hizbullah (partai yang menegakkan agama Allah) itulah yang pasti menang”. (QS. Al Maidah: 56)
Seluruh umat Islam sepanjang masa sepakat bahwa hukum mendirikan khilafah adalah wajib. Mereka menjadikan kewajiban ini sebagai sebagai fardlu yang paling penting, bahkan menganggapnya sebagai sebaik-baiknya amalan bertaqarrub kepada Allah SWT. Mereka juga tidak berselisih pendapat dalam hal ini status kewajiban menegakkan khilafah yaitu fardlu kifayah. Oleh karena itu Imam Mawardi mengatakan : “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwasanya menegakkan khilafah adalah fardlu kifayah, seperti jihad dan sebagainya. Apabila sudah ada di antara individu-individu masyarakat yang berusaha menegakkannya dan mempunyai kemampuan, maka fardlu itu akan gugur atas seluruh kaum muslimin .”
Oleh karena itu, upaya menegakkan khilafah dianggap fardlu atas seluruh kaum muslimin, karena yang dituntut melaksanakan kewajiban ini adalah seluruh kaum muslimin. Jadi apabila usaha tersebut sudah mencukupi, fardlu itu dianggap telah terlaksana, baik yang melakukannya adalah setiap individu kaum muslimin atau hanya sebagian dari mereka; dan apabila belum cukup, maka kewajiban tersebut tetap berlaku atas setiap individu hingga terpenuhi kebutuhan dan terlaksananya fardlu tersebut.
Menegakkan khilafah adalah tugas yang luar biasa beratnya, memerlukan perjuangan yang terus menerus yang tidak mengenal lalai atau mundur, menuntut pengorbanan yang sangat banyak; dan untuk merealisasikannya sangat diperlukan keikutsertaan seluruh kaum muslimin, khususnya para pendiri dan pengikut gerakan, baik partai-partai dan kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi Islam, agar mereka semuanya bekerja sama untuk menyatukan dan memfokuskan langkahnya di jalan perjuangan yang bertujuan menegakkan khilafah, agar target tersebut dapat segera dicapai dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Tidak perlu dibuktikan lagi bahwasannya individu tidak akan mampu menjalankan tugas/kewajiban ini sendirian. Sebuah khilafah tidak bisa ditegakkan oleh individu, kecuali oleh kepala negara. Namun apabila individu-individu itu bersatu padu dalam satu wadah membentuk sebuah jama’ah atau organisasi politik (partai), maka mereka -setelah mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang mempunyai kekuatan atau memegang kekuasaan akan mampu mewujudkan khilafah. Oleh karena itu Allah SWT tidak memerintahkan individu-individu untuk berda’wah atau berjuang untuk menegakkan khilafah sekaligus mengoreksi tingkah laku penguasa, tetapi Allah SWT membebankan misi tersebut kepada sejumlah individu kaum muslimin yang telah menjadi sebuah partai atau organisasi politik. Allah SWT berfirman:
‘Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang mengajak (manusia) kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah (mereka) dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 104)
Termasuk dalam kategori ma’ruf yang paling agung ialah berdirinya khilafah dan tegaknya hukum Allah di muka bumi ini, juga mengoreksi penguasa pengkhianat dan dzalim, yang telah melepaskan tali Islam dari leher dan memerangi orang-orang yang berusaha menegakkan pemerintahan khilafah. Jadi ini merupakan ‘amal jamaa’i/kegiatan kelompok yang sama sekali tidak dapat dilakukan oleh individu. Maka telah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mendirikan kelompok da’wah (partai politik) yang mampu menegakkan khlilafah dan mengoreksi para penguasa. Kalau mereka belum membentuk partai politik tersebut, maka mereka akan berdosa karena belum melakukan sesuatu aktifitas yang semestinya dilakukan. Dalam hal ini kaidah syara’ menyatakan:
“Apabila suatu kewajiban tidak akan terlaksana kecuali dengan suatu perbuatan tertentu, maka perbuatan itu hukumnya adalah wajib.”
Begitu pula halnya apabila mereka membentuk suatu kelompok (organisasi) yang tidak mampu melaksanakan tujuan, yaitu mendirikan khilafah atau penguasa, maka mereka juga tetap berdosa. Sebab yang diwajibkan itu bukan sekedar membentuk kelompok/organisasi saja, tetapi membentuk gerakan da’wah yang mampu melaksanakan kewajiban tadi yaitu mampu menegakkan khilafah dan mengoreksi perilaku dan tingkah laku penguasa. Dengan kata lain yang dibentuk itu adalah suatu partai politik yang mampu melaksanakan kewajiban ini, dan bukan membentuk organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, ikatan cendekiawan, kelompok-kelompok thariqat, ataupun gerakan bersenjata (milisi) dan lain sebagainya yang tidak mampu melaksanakan kewajiban syara’ yang diperintahkan.
Ini mengenai hukum tegaknya khilafah dan terbentuknya partai politik. Adapun hukum bergabung kepada partai politik tersebut, maka ini tidak terlepas dari hukum fardlu yang menjadi dasar berdirinya partai politik tersebut. Demikian pula aktifitas mengoreksi penguasa. Oleh karena itu, hukum bergabung dengan partai yang berusaha mendirikan khilafah dan mengoreksi penguasa adalah fardlu kifayah. Tidak ada alasan bagi individu untuk menolak bergabung dengan partai politik tersebut dengan dalih bahwa status hukumnya mubah, dengan kata lain ia bebas memilih antara bergabung dengan partai politik atau tidak. Sebab, aktifitas da’wah yang bertujuan menegakkan khilafah telah diwajibkan oleh Allah atas sekelompok dari kaum muslimin yang berupa organisasi politik. Mereka harus ingat kembali kepada firman Allah SWT:
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)
Perlu dicatat, bahwa fardlu kifayah kadang-kadang dapat berubah menjadi fardlu ‘ain, tetapi tidak sebaliknya. Dalam kaitan ini Imam Syamsuddin al Mahalli berkata: “Dapat saja terjadi kewajiban kifayah itu berubah menjadi fardlu ‘ain, yaitu apabila hanya ada satu orang yang dapat melaksanakannya, seperti halnya apabila di suatu daerah tidak ada dokter kecuali hanya satu orang, maka menolong orang-orang sakit di daerah itu hukumya wajib ‘ain atasnya.”
Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah saat membahas amar ma’ruf nahi munkar, mengatakan: “Hukum aktifitas tersebut adalah wajib atas setiap muslim yang memiliki kemampuan, dan statusnya adalah fardli kifayah. Namun fardlu tersebut bisa berubah menjadi fardlu ‘ain atas orangg orang yang mampu apabila kewajiban tersebut belum dilaksanakan oleh orang lain.”
Jadi jelaslah bahwa kewajiban mendirikan khilafah, walaupun status awalnya adalah fardlu kifayah, akan tetapi bila kemampuan kelompok gerakan yang mengupayakannya belum cukup, maka fardlu kifayah dalam keadaan seperti ini dapat berubah menjadi fardlu ‘ain, dan tetap menjadi atas setiap individu kaum muslimin hingga terpenuhinya kebutuhan gerakan dan kewajiban itu benar-benar terlaksana. Oleh karena itu bergabung dengan partai politik yang bertujuan mendirikan khilafah hukumnya fardlu ‘ain selama sebelum kekuatan cukup. Setiap muslim yang melalaikan kewajiban ini akan berdosa hingga partai politik itu memiliki kemampuan yang cukup berhasil menegakkan khilafah.

0 komentar: