11 April 2009

Fardhu A'in

FARDLU ‘AIN

Skala Prioritas (Aulawiyat) Dalam Aktivitas Da’wah

Dikalangan kaum muslimin telah berdiri banyak gerakan, jama’ah, kelompok dan partai politik Islam. Setiap golongan dari mereka beranggapan bahwa golongan merekalah yang memiliki pemahaman yang unggul dan unik terhadap Islam. Atau, bahwa golongan merekalah yang aktivitasnya dalam melayani Islam lebih tepat dan melebihi yang lain. Sebagai contoh, ada jama’ah-jama’ah tashawwuf yang membatasi kegiatannya hanya pada tashawwuf. Ada pula yang membatasi kegiatannya pada pemberian nasihat dan berda’wah hanya sebatas urusan ibadah dan akhlaq. Ada juga yang membatasi kegiatannya pada penghafalan Al-Quran dan perbaikan bacaannya (ilmu tajwid). Ada lagi yang memfokuskan perhatiannya pada masalah aqidah; atau pada aspek jihad (perang);atau aspek perbaikan individu (ishlahul fard) semata. Selain itu, ada yangg membatasi perhatiannya pada aktivitas perdirian Daulah Islamiyah dan seterusnya.

Sesungguhnya, syari’at Islam tidak membiarkan masalah pembatasan kegiatan kelompok ini berjalan menurut selera, hawa nafsu dan keinginan tiap-tiap golongan. Masalah ini wajib diambil dari syara’ dan dijalankan sesuai dengan hukum-hukumnya.

Bila kita kembali pada masalah yang pertama kali dihadapi manusia --siapapun dia sebelum menjadi seorang muslim-- akan kita dapati bahwa masalah yang fundamental itu adalah pembahasan aqidah. Manusia semenjak kecilnya yakni semenjak akalnya mulai terbuka memandang kehidupan, akan senantiasa bertanya-tanya tentang dirinya dan tentang segala sesuatu yang ada disekelilingnya, "Dari manakah datangnya kehidupan dan benda-benda (materi) ini? Sampai kapan semua ini akan terus ada? Dan kemana perginya orang-orang yang telah mati? Apakah manusia harus mempertanggungjawabkan segala yang dilakukannya dan yang tidak dilakukannya dalam kehidupan dunia ini, ataukan manusia justru memilki kebebasan mutlak?"

Al Qur an telah mengisahkan kepada kita bagaiman Sayyidina Ibrahim as. Berdebat dengan kaumnya dan mengajarkan kepada mereka untuk berfikir agar mendapat hidayah untuk memeluk aqidah yang benar. Firman Allah SWT:

"Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi tatkala bintang itu terbenam (menghilang) dia berkata: " Saya tidak suka (tunduk) kepada yang terbenam (kadang-kadang ada dan kadang-kadang tidak ada)." Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku." Tapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar." Maka tatkala matahari itu tenggelam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu pesekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (QS. Al An'aam: 75-79)

Pada saat manusia telah selesai melakukan aktivitas berfikir dan membahas aqidah, dia akan sampai --dengan taufiq Allah-- pada aqidah yang benar, yaitu Aqidah Islamiyah. Dia akan beriman bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia akan beriman kepada Hari Kiamat, Surga dan Neraka. Dia akan beriman bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah dan bahwa Al Quran adalah kalamullah (firman Allah) yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Pada saat inilah dia akan berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah dan akan mengambil metode kehidupan dari keduanya.

Pada tahap pertama ini, akal manusia merupakan satu-satunya sarana untuk mengkaji dan berfikir, hingga dapat sampai kepada aqidah yang benar. Setelah itu (yakni pada tahap kedua) peran akal tidak hanya memikirkan dan mengkaji alam semesta, melainkan juga memikirkan dan mengkaji Al Kitab dan As Sunnah untuk memahami apa yang diwahyukan oleh Allah kepada hamba-hambaNya.

Pada derajat pertama (dalam pengkajian Al Kitab dan As sunnah), seorang muslim akan mendapatkan Manhaj Rabbany (metode kehidupan yang berdasarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya) sebagaimana yang termaktub dalam firmanNya :

"Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu." (QS. Adz-Dzaatiyaat: 56)

Makna ibadah disini adalah mengikatkan diri (iltizam) kepada hukum-hukum syara' secara keseluruhan, yaitu mubah, mandub, fardlu, makruh dan haram. Seorang pedagang, petani, atau pengusaha yang melakukan aktivitas pada hal-hal yang mubah, seraya menjauhi hal-hal yang haram serta menjaga pelaksanaan hukum-hukum Allah, maka semua aktivitas ini termasuk dalam kategori beribadah kepada Allah SWT.

Derajat kedua yang didapati seorang muslim dalam Manhaj Rabbany ini, termaktub dalam sabda Rasulullah saw:

"Apa saja yang aku larang atas kalian, maka tinggalkanlah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah sesuai dengan kesanggupanmu".

(HR. Bukhari dan Muslim)

Bila kita mencoba memahami secara mendalam perintah-perintah dan larangan-larangan Allah (hukum Syara’), akan kita dapati bahwa perintah-perintah dan larangan-larangan itu mengandung hukum taklifi yang lima. Perintah adalah hukum wajib, mandub dan mubah, sedangkan larangan adalah untuk hukum haram dan makruh.

Dalam hal-hal yang mubah, seorang muslim berhak memilih dari hal-hal tersebut apa yang diinginkannya, sesuai dengan pertimbangan akalnya dan kepentingan dirinya.

Dalam hal-hal yang mandub, seorang muslim hendaknya berusaha keras melaksanakannya: sedangkan dalam hal-hal yang makruh, seorang muslim hendaknya berusaha keras untuk meninggalkannya, kendati pun hal-hal makruh dan mandub ini tidak sesuai dengan keinginannya serta tidak sesuai dengan keputusan akal dan kepentingannya. Hal ini karena dalam hal-hal tersebut (mengerjakan yang mandub atau meninggalkan yang makruh) ada pahala bagi seorang muslim dari Rabbnya. Sehingga, jika dia tidak melaksanakan hal-hal tersebut (yakni meninggalkan yang mandub atau mengerjakan yang makruh) maka dia akan rugi tidak mendapat pahala, meskipun tidak ada dosa atasnya.

Adapun dalam larangan-larangan syara’ (hal-hal yang haram) maka seorang muslim harus meninggalkan semua larangan-larangan itu, kecuali terdapat rukhshah syar’iyah (rukhshah yang dibenarkan oleh syara’) seperti memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa (memakannya).

Mengenai perkara yang wajib (fardlu), seorang muslim akan mendapatkan derajat ketiga dari Manhaj Rabbany ini. Syara’ telah menetapkan adanya dua macam kewajiban: fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Fardlu ‘ain adalah kewajiban yang tuntut oleh syara’ dari tiap-tiap individu, dan kewajiban ini tidak akan gugur dari tiap-tiap individu itu walaupun seluruh kaum muslimin yang lain mengerjakannya. Sedangkan fardlu kifayah, adalah kewajiban yang jika telah sempurna oleh sebagian kaum muslimin, maka gugurlah kewajiban itu dari kaum muslimin yang lain (yang tidak mengerjakannya).

Pada dasarnya, seorang muslim harus mengerjakan semua perkara yang wajib, baik fardlu ‘ain maupun fardlu kifayah. Akan tetapi, bila kedua macam kewajiban ini berbenturan pada kondisi-kondisi tertentu, dalam arti bila dilaksanakan salah satunya tentu kewajiban yang lain tidak dapat dilaksanakan, maka dalam kondisi-kondisi seperti ini fardlu ‘ain didahulukan daripada fardlu kifayah.

Perlu diperhatikan di sini, bahwa fardlu kifayah kadang-kadang dapat berubah statusnya menjadi fardlu 'ain dalam kondisi-kondisi tertentu. Shalat jenazah, misalnya, hukumnya fardlu kifayah. Tetapi bila hanya ada satu orang selain jenazah itu, maka shalat jenazah menjadi fardlu 'ain atas orang tersebut. Contoh lain, bila seseorang tertabrak kendaraan, maka memberi pertolongan kepadanya adalah fardlu kifayah. Akan tetapi bila tak ada orang sama sekali di tempat kecelakaan itu kecuali hanya dua orang, sementara bila hanya salah seorang diantara mereka berdua yang melakukannya tak akan mampu memberikan pertolongan, maka dalam hal ini memberi pertolongan kepadanya menjadi fardlu 'ain atas kedua orang tersebut. Demikianlah seterusnya.

Derajat keempat dari Manhaj Rabbany yang akan didapati seseorang muslim adalah adanya kondisi bila beberapa fardlu ain berbenturan dalam arti dia tidak mampu mengerjakan semuanya, sehingga dia hanya mampu mengerjakan sebagian saja. Disini muncul pertanyaan. “Apakah dia berhak memilih untuk mengerjakan fardlu-fardlu yang akan dikerjakannya? Ataukah syara’ sajalah yang berhak menetapkan peringkat aulawiyat (prioritas pelaksanaan hukum syara’) dan seorang muslim harus terikat dengannya?”.Jawabnya adalah bahwa masalah itu bukanlah masalah hak untuk memilih dan bukan pula dikembalikan pada pilihan seseorang, tetapi hal ini adalah masalah syar’iyah (masalah yang ditetapkan oleh syara’).

Kalau misalnya seseorang mempunyai hutang dan harus melunasinya, sementara keluarganya mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, namun dia tidak mempunyai uang yang cukup untuk memenuhi dua hal tadi, maka manakah di antara kewajiban ini yang harus didahulukan? Melunasi hutang yang telah tiba waktunya adalah fardlu ‘ain atasnya, dan memberi nafkah bagi keluarganya adalah fardlu ‘ain pula atasnya. Sementara jumlah uang yang ada tidak mencukupi kecuali hanya untuk salah satu diantara dua kewajiban tadi. Dalam hal ini syara’ mendahulukan pemberian nafkah bagi keluarga daripada pelunasan hutang, apabila pemberian nafkah bagi keluarga adalah pada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat dlaruuiyaat (kebutuhan primer; yakni sandang, pangan dan papan). Tetapi syara’ mendahulukan pelunasan hutang apabila pemberian nafkah bagi keluarga adalah pada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kamaliyaat (kebutuhan pelengkap).

Dengan demikian, syara’lah yang menetapkan peringakat aulawiyat saat terjadinya beberapa kewajiban berbenturan pada diri seorang muslim. Akan tetapi, peringkat ini tidaklah jelas benar dalam arti telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Bahkan pada umumnya, penetapan peringkat ini membutuhkan ijtihad. Dalam hal ini, seorang mujtahid akan mendapatkan dua pahala bila ijtihadnya benar, dan satu pahala bila salah. Yang penting, kita harus mengetahui bahwa hal ini adalah perkara syar’iyah yang membutuhkan ijtihad dan istidlal (pengambilan dalil) serta bukan masalah hak untuk memilih atau tergantung pada selera orang dan sebagainya.

Kita kembali ke masalah gerakan, partai, jama’ah, dan kelompok-kelompok Islam yang telah menetapkan sendiri target-target dan aktivitas-aktivitasnya lalu membatasi kegiatannya pada target dan aktivitasnya itu. Apakah mereka dalam hal ini bersandar pada ijtihad syar’iy atau sekedar bersandar pada selera, hawa nafsu dan hak untuk memilih?

Dengan melakukan pendalaman, akan kita jumpai bahwa pada umumnya, dalam masalah ini mereka tidak bersandar pada ijtihad syar’iy yang shahih. Karena itu, setiap gerakan atau jama’ah yang tidak beraktivitas untuk menghancurkan peraturan-peraturan kufur yang ada di negeri-negeri Islam, adalah gerakan atau jama’ah yang telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula setiap gerakan, jama’ah, partai atau kelompok yang tidak beraktivitas secara serius untuk mendirikan Daulah Islamiyah yang akan menerapkan syari’at Islam dan memberlakukan hukum yang diturunkan oleh Allah, berarti mereka telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Aktivitas untuk menghancurkan negara-negara kafir dan peraturan-peraturan kufur, serta mendirikan daulah Islamiyah (Daulah Khilafah) hukum asalnya adalah fardlu kifayah. Akan tetapi, kecukupan (kifayah) ternyata belum menghasilkan (target) dengan orang-orang yang telah beraktivitas untuk mencapai tujuan tersebut. Ini berarti, hukum fardlu kifayah dalam masalah ini telah berubah statusnya menjadi fardlu ‘ain dan status hukum ini akan tetap demikian sampai terwujudnya kecukupan dan dilaksanakannya kewajiaban ini secara nyata.

Kewajiban mendirikan Daulah Islamiyah (Daulah Khilafah) akan nampak urgensitasnya, bila kita telah memahami bahwa kewajiban ini tidak seperti kewajiban biasa lainnya. Bahkan keberadaan Daulah Islamiyah sesungguhnya merupakan salah satu asa ajaran Islam yang paling agung. Ini karena lenyapnya Daulah Islamiyah telah mengakibatkan terlantarnya 90% syari’at Islam, dan telah menyebabkan bercokolnya pemikiran, hadlarah (peradabab), akhlaq dan gaya hidup Barat di benak putra-putri kaum muslimin. Juga hal ini telah menimbulkan terlepasnya Aqidah Islamiyah dari sebagian besar putra-putri kaum muslimin, sehingga akhirnya mereka mengemban aqidah Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Hal ini telah menyebabkan pula terpecah belah dan terjajahnya negeri-negeri kita (negeri-negeri Islam) dan dirampoknya kekayaan alam milik kita oleh para penjajah. Hal ini pulalah yang telah menyebabkan didudukinya negeri-negeri kita oleh Yahudi, sehingga mereka dapat menginjak-injak kehormatan kita dan menghinakan kita sebagai orang-orang yang tertindas. Tidaklah mungkin kita melepaskan diri dari semua penderitaan ini kecuali dengan berdirinya Daulah Islamiyah Rasyidah.

“Siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhan-ku, mengapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Thaahaa: 123-126)

0 komentar: