31 Maret 2009

Mahar dalam Islam



Mahar pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta dan bukan sekedar simbol. Pada jaman dahulu di Arab seseorang diperbolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata "tidak mampu" ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Ayat dan hadis tentang mahar banyak menyatakan nilai nominal.

Mahar dianggap sebagai nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Wanita dapat meminta mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito, saham, kontrakan, perusahaan atau benda berharga lainnya.

Mahar juga dapat berupa mushaf Al-Qur'an dan seperangkat alat shalat, dan mahar yang demikian memiliki nilai nominal yang rendah. Secara fiqhiyah, kalangan Al-Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Bila seorang laki-laki tidak mampu, maka ia boleh mencicil. Islam memperbolehkan mahar diberikan dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin seperti cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkan atau yang sejenisnya, dengan catatan kedua belah pihak bersedia dan rela atas mahar tersebut.

Mahar dalam bentuk pelayanan jasa seperti mengajarkan Al-Qur'an juga dapat dilakukan seperti yang pernah terjadi di Nabi Muhammad di mana seorang sahabat memberi mahar berupa hafalan Al-Qur'an dan dianggap sebagai jasa mengajarkan Al-Qur'an dan dihitung memiliki nilai nominal yang tinggi, termasuk didalamnya mengerti makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat.

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda, "Ajarilah dia Al-Qur'an." Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

0 komentar: